Islam dan umatnya di Madinah telah berkembang menjadi suatu pemerintahan sendiri. Dapat dikatakan Negara Islam zaman Rasulullah SAW ketika itu telah “setaraf” kedudukannya dengan imperium besar Romawi di sebelah Utara Semenanjung Tanah Arab dan imperium Parsi di sebelah Barat. Setaraf dalam pengertian mencukupi “rukun serta syarat” untuk disebut sebagai sebuah negara yang berdaulat. Yaitu mempunyai; (1) Pemerintahan yang jelas, berpusat pada kepemimpinan Muhammad Rasulullah SAW. (2) Mempunyai rakyat (ummat) sendiri. (3) Ada daerah yang menjadi wilayah kekuasaannya dan (4) Mempunyai pasukan tentara (militer). Unsur ke empat ini (militer) sebenarnya bukan merupakan unsur pokok (utama), tetapi keberadaannya penting bagi sebuah Negara.
Ketika kaum Muslimin masih di Makkah, sebelum hijrah. mereka hanya memiliki dua syarat utama untuk menjadi sebuah negara, yaitu pemerintahan sendiri yang berpusat pada Rasulullah SAW dan rakyat yang mentaati pemerintahannya. Sebagai perbandingan, dewasa ini kita temui juga ada negara yang tidak mempunyai pasukan tentara sendiri (militer), yaitu: Monaco dan Vatikan misalnya.
Sepeninggal baginda Rasulullah SAW (11 H./632 M.), pemerintahan Islam atau yang kemudian dikenal dengan al-Khilafah al-Islamiyah di bawah Khalifatu ar-Rasul (Abu Bakar as-Sidiq, Amirul Mu’minin Umar ibnu Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib), dapat menghalau pengaruh Romawi dan Parsi dari Semenanjung Tanah Arab. Pemerintahan Rasulullah sampai kepada ar-Khulafa al-Rasyidun merupakan negara yang murni keagamaan. Sukar bagi pengkritik dari kalangan pakar ketatanegaraan menemukan cacat-cela dalam pemerintahannya. Tetapi pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah, warna ke-arab-annya lebih menonjol (dominan).
Pusat pemerintahan Islam pada awalnya di Madinah al-Munawwarah. Di masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib, pusat pemerintahan Islam dipindahkan ke Kuffah, sejalan dengan perubahan politik yang berlaku ketika itu. Dari perubahan ini dapat kita saksikan juga perubahan pendukung kuat Khalifah. Dengan pindah ke Kuffah berarti lebih dekat dengan bangsa Arab al-Muta’arribah keturunan Parsi. Lain halnya ketika pusat Pemerintahan Islam di Pusat Jazirah Tanah Arab dan di Madinah.
Bani Umayyah memusatkan kekuatannya di Utara Jazirah Tanah Arab, di Bandar Damsyiq (Damascus). Pengaruhnya sampai ke Utara Afrika melintasi Laut Tengah sampai ke tanah Andalusia (Spanyol). Dari Bani Umayyah tampuk pimpinan umat Islam pindah ke tangan Bani Abbasiyyah. Pusat pemerintahan mereka berada di Bagdad dengan dukungan kuat dari Khurasan (Arab al-Muta’arribah keturunan Parsi). Sampai di sini kita masih menyaksikan bangsa Arab memimpin umat Islam dunia ketika itu.
Seterusnya, bangsa Tartar menghancurkan Baghdad dan negri-negri Islam. Dapat dikatakan, hanya pemerintahan Islam di Barat (Berpusat di Andalus) yang tidak tersentuh pengaruh mereka, yaitu masih mempertahankan ciri khas ke-arab-annya.
Perubahan terjadi sejalan dengan Moghul masuk Islam, dan merekalah yang berperan penting dalam ekspansi ke Benua India membawa panji-panji Islam, kelanjutan dari yang diprakarsai Bani Umayyah. Peninggalan mereka masih dapat kita saksikan hingga hari ini, dalam bentuk arsitektur istana dan budaya (Taj Mahal, misalnya).
Tak kalah pentingnya setelah itu, adalah peranan Bangsa Saljuk, Turki dalam sejarah Pemerintahan Islam. Di Barat, mereka dikenal sebagai pemerintahan Othaman. Di zaman Khilafah Utsmaniyyah ini Islam mencapai kegemilangan dengan menaklukkan imperium Bizantium di Konstantinopel dan ekspansi ke tanah Eropah.
Akhirnya sampai taqdir ketentuan Allah Azza wa Jalla menentukan, al-Khilafah al-Islamiyyah dalam Islam pun berakhir. Tahun 1924 M. merupakan tahun di bubarkannya institusi Khalifah dan Sultan di Turki oleh anak bangsanya sendiri. Lalu berdirilah apa yang mereka sebut sebagai Turki Modren (baru).
Panji Islam dan kegemilangannya telah dipegang oleh berbagai bangsa. Bermula dari Bangsa Arab, Mughol dan Saljuk. Sejalan dengan itu, di Asia Tenggara, bangsa Melayu mempunyai sejarahnya sendiri dalam memerintah kesultanan di sekitar khatulistiwa. Membentang dari Semenanjung Malaya di Barat sampai kepulauan Maluku di Timur. Dari Kepulauan Besar (Filipina) di Utara khatulistiwa, sampai kepulauan Nusa-tenggara di Selatan.
Dengan runtuhnya pemerintahan Islam, al-Khilafah al-Islamiyyah yang berawal di Madinah al-Munawwarah dan berakhir di Istambul, Turki (1924), maka ummat Islam pun bagai ayam kehilanggan induk, tidak ada yang memimpin dan melindunginya. Sebagian besar bangsa yang dahulu menjadi bagian dari al-Khilafah al-Islamiyyah, menjadi negara yang berdiri sendiri atau dijajah bangsa lain (Inggris, Perancis, Belanda, Rusia, dan Amerika).
Benarlah apa yang disabdakan Nabi Muhammad SAW, “Bermula Islam itu gharib (asing, aneh) dan akan kembali gharib. Berbahagialah orang-orang yang ghuraba’” (H. R. Muslim)[3]
Indunesians or Malayunesians[4]
Sub-judul ini dikutip dari usulan yang diajukan George Samuel Windsor Earl (1813-1865), berkebangsaan Inggris[5], dalam jurnal yang dikelolanya di Singapura (1850). Ia mengusulkan nama tersebut untuk menunjukkan bangsa, agama, dan pemerintahan di rantau Asia Tenggara. Dalam artikelnya, Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Malayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:
“… the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians“.
Kita tidak menemukan rujukan yang tepat, untuk menunjukkan kapan awal mula bangsa Malayu berada di kepulauan ini. Diantara definisi tentang Malayu adalah: “Bangsa Malayu ialah orang-orang Islam yang beradat-resam (adat istiadat) Malayu dan bertutur dengan bahasa Malayu”. Bertolak dari definisi tersebut, bisa kita katakan bahwa penamaan Malayu meliputi pengertian bangsa, bahasa, dan agama, juga pemerintahan (kerajaan/negara).
Sebelum lebih jauh membicarakannya, ada baiknya kita simak terlebih dulu arti kata Malayu[6]. Kita mencoba memahami kata tersebut dari sudut kajian bahasa Arab, yaitu bahasa agama yang mereka anut (Islam). Asumsi pertama, bahwa Malayu tidak dapat dipisahkan dari akar agama mereka (Islam). Orang Malayu yang menukar agamanya (Islam), akan tercerabut dari akar bangsanya. Kedua, penamaan Malayu menunjukkan bangsa, bahasa, dan negara, diduga berasal dari bangsa Arab zaman kegemilangan Islam di Bagdad (Bani Abbasiyah pada abad 10 M.).
Dengan demikian, kata Malayu dekat dengan ucapan Bahasa Arab Mala’miyah (mim, lam, hamzah, mim, ya, dan ha). Ada perubahan dalam penuturannya, menjadi Malâmiyah (hamzah berubah menjadi huruf alif dengan panjang dua harkat). Kemudian, mim kedua turut lenyap (mungkin disebabkan sukar dalam pengucapan), sehingga menjadi: Malayah. Selanjutnya, huruf ha di akhir kata juga dihilangkan, tidak berbunyi lagi, maka jadilah sebutannya Malaya atau Malayu, dan ada yang menyebutnya Melayu.
Arti Kata Mala’miyah[7]
Mala’miyah tersusun dari dua perkataan. Pertama Mala’ (mim, lam dan hamzah) bermakna: Penguasa, Petinggi, Pemegang keputusan (Pemerintah). Kedua Miyah bermakna air. Bisa dikatakan, arti kata Mala’miyah merujuk pada pengertian penguasa/petinggi/pemerintah air (laut). Dan kalau kita baca dengan “mil’u” bermakna dipenuhi, yang mengandung pengertian dipenuhi air, yaitu tempat (pulau-pulau) yang dipenuhi atau dilingkungi air.
Untuk memperkaya wawasan, ada baiknya kita berwisata ke kota/bandar pertama yang dibangun di awal Pemerintahan Abbasiyah (836 M.). Sampai sekarang kota tersebut masih ada dan dikenal sebagai Kota Samarra. Nama asal kota tersebut dalam bahasa Arab: Surra man ra’a (Menggembirakan bagi siapa yang melihatnya), lalu pengucapannya berubah karena perbedaan lidah dalam pengucapan bangsa asing yang bukan berbahasa Arab.
Begitu juga halnya dengan istilah/sebutan nama pangkat di tentara-laut, seperti: Admiral, yang masih digunakan sampai sekarang. Pangkat ini merupakan gelar tertinggi bagi panglima tentara angkatan laut di masa Pemerintahan Bani Umayyah. Kata tersebut berasal dari bahasa Arab: ‘Amir al-Bahr, yang artinya “gubenur laut/penguasa tertinggi laut” yang bertindak atas nama Khalifah. Tentu saja akan banyak kita jumpai istilah bahasa Arab yang diserap atau digunakan dalam berbagai bahasa dunia. Termasuk dalam istilah matematika, sains, kedokteran, dan politik/ketatanegaraan.
(3/5)
====================
[3] Lihat Kitab “Shahih Muslim bi Syarh Nawawi”, jilid, 2 hal. 175, dar ihya at-Turats, Bairut, Libanon, tahun 1984 M./1404 H.
[4] Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dapat dilihat dalam Wikipedia, internet.
[5] ibid.
[6] Penulis lebih conderung menuliskan Malayu dengan menggunakan huruf (a) dan bukannya (e) bersandarkan kepada asal tulisan Arab-Malayu (Mim) yang dapat dibunyikan dengan ma-mi-mu. Begitu juga orientalis menuliskannya dengan huruf (a).
[7] Lihat peta dunia yang dibuat al-Idrisi tahun 562 H./1177 M. dalam “Atlas Budaya Islam” hal. 174. opcit
[…] Maramedia, Panji Islam…2011 […]